Pada tahun 1973 keatas,
ketika saya bekerja sebagai wartawan, saya rajin membawa alat pengambil gambar
(potret) yang menjadi obyek sebuah berita.
Walupun alat potret yang saya miliki tidak tergolong barang baru,
tetapi sebagai seorng wartawan yang ada
di daerah saat itu, terasa seperti
memiliki barang mewah, karena tidak semua teman wartawan memiliki alat pembuat
gambar tersebut. Kebetulan mereknya Kodak, dan pada umumnya para wartawan saat
itu diberi gelar ”kuli tinta” dan yang lebih gagah lagi bila dipanggil Mat
Kodak. Panggilan Mat Kodak untuk kerumunan wartawan hanya generalisasi saja,
karena pada saat itu juga sudah banyak nama perusahaan alat potret tersebut,
mungkin saja “Kodak” merek tertua dan paling berkualitas pada saat itu.
Walaupun seorang wartawan
membawa sebuah buku kecil untuk menyimpan hasil wawancara dengan sumber
beritanya,tidaklah sempurna hasil wawancara tersebut jika tidak dilengkapi
dengan pengambilan gambar, baik gambar obyek atau tokoh yang
diwawancarai atau benda atau obyek yang sedang diberitakan, seperti
hutan yang baru digunduli, atau seorang ibu yang baru dianiaya, atau seorang
yang menganiya si_ibu, atau seorang pejabat yang baru diberhentikan dari
jabatannya karena skandal tertentu. Pekerjaan sebagai wartawan saat itu lumayan
berat, karena untuk mendapatkan foto yang sudah siap cetak pada halaman
koran/majalah, masih perlu proses yang panjang.
Gambar atau foto yang masih
tersimpan didalam film, harus dibawa ke kamar yang gelap untuk dipotong bagian
yang dibutuhkan. Potongan tersebut harus dicuci di kamar gelap/kamar yang
dilapisi dengan kertas warna merah agar dapat melihat barang yang akan dicuci.
Hasil pencucian tersebut diproses lagi dengan campuran warna yang dibutuhkan,
lalu memilih jenis kertas yang dapat diterima oleh mesin cetak pada kantor
penerbitan koran/majalah tersebut. Jika menggunakan tukang fhoto khusus,
seperti dahulu tukang fhoto SB di Cakranegara, kita perlu menunggu sehari atau
dua hari lamanya. Naskah berita yang dikirim ke redaksi dan ditambah lagi
dengan lampiran photo tersebut, lalu dikirim melalui kantor pos, baru beberapa
hari kemudian dapat diterima di kantor redaksi di Jakarta.
Walaupun saya bekerja pada
sebuah majalah mingguan berita, dan hampir semua naskah berita yang saya buat
sudah ”press klar”, karena telah memenuhi syarat-syarat bagi sebuah
penerbitan yang berkualitas, dengan mengutamakan ”cover both side”,
tetapi berita dan gambar tersebut tetap hanyalah berita yang tidak
seluruhnya sempurna, karena keterbatasan
waktu, keterbatasan sumber berita dan berbagai hambatan lainnya. walaupun
pembaca pada umumnya mungkin sangat puas, tetapi bagi seorang wartawan tetap
saja belum ada kata puas. Wartawan ingin menyampaikan berita tersebut secara lengkap,
namun keterbatasan waktu mengharuskannya untuk menutup berita yang dibuatnya.
Tulisan yang judulnya,
sebagai potret apalagi bagian dari potret, tentu saja lebih kurang hampir sama
dengan laporan mingguan seorang wartawan. Kalau mau jujur, sebenarnya tak
diperlukan lagi tulisan apalagi potret tentang Nahdlatul Wathan, oleh karena
telah ada sejumlah besar laporan, buku dan disertasi tentang organisasi
tersebut, khususnya tentang ketokohan pendiri organisasi tersebut. Sayangnya,
bahwa kebanyakan tulisan dan potret lengkapnya, sebagian besar ditulis oleh
para penulis yang memiliki hubungan langsung dengan organisasi tersebut.
Sedangkan tulisan ini disusun dengan mengambil pandangan sepihak dari seorang
tukang potret atau Mat Kodak saja. Memang beberapa bahan atau data data dari
buku dan tulisan para abituren juga digunakan sebagai bingkai yang indah
dari tulisan ini.
Semoga organisasi Nahdlatul
Wathan, sebagai karya tertinggi manusia Sasak, akan terus berkembang dan
menjadi lem perekat bagi persatuan suku bangsa Sasak khususnya dan bagi bangsa
Indonesia yang sama-sama kita cintai. Mohon maaf jika terdapat hal hal yang
kurang sempurna, maklum Mat Kodak yang banyak kekurangannya. Selamat membaca
dengan segala senang hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar